Minggu, 17 Februari 2013

SAYANG ISTRI, SAYANG ANAK, SAYANG VESPA JUGA

Kisah Sang Kolektor
Selain istri dan anak-anak, saya paling sayang sama skuter,” kata Tamrin (57), bapak lima anak yang mengoleksi lebih dari 20 skuter merek Vespa.
Vespa itu ditempatkan di garasi khusus di rumahnya di bilangan Ciracas, Jakarta Timur. Setiap skuter diselimuti kain berwarna cerah. Tersebutlah antara lain Vespa GS (Gran Sport) produksi tahun 1962. Skuter ini terkesan kukuh sentosa karena bodi dicetak tunggal tanpa sambungan (one-piece metal pressing.)
Ada juga Vespa Douglas keluaran tahun 1958. Ini adalah skuter yang dibuat oleh perusahaan Douglas, Inggris, dengan lisensi dari Vespa. Tertua dalam koleksi Tamrin adalah Vespa bikinan tahun 1951. Setang Vespa ini tak beda dengan setang sepeda. Semuanya dalam keadaan kinclong seperti baru keluar dari pabrik.
Vespa itu datang kepada Tamrin dalam keadaan tidak mulus. Dia pernah mendapat Vespa keluaran tahun 1965 dalam kondisi bulukan. Ia trenyuh. Lalu dirawatlah Vespa yang bodi dan mesinnya masih asli. Berbulan-bulan ia memburu aksesori orisinal sesuai dengan tahun kelahiran Vespa tersebut. ”Saya jarang main imitasi. Seluruhnya saya usahakan orisinal,” katanya.
Tamrin memburu Vespa dari berbagai kota di Jawa, seperti Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Semarang, dan Solo. Perburuan sampai juga ke Singkawang, Kalimantan Timur, yang tak lain adalah kampung halaman. Di kota itulah Tamrin jatuh cinta dengan Vespa.
Di Singkawang, pada era 1960-an, kenang Tamrin, pemilik Vespa masih bisa dihitung dengan jari. Pemiliknya kebanyakan pejabat setingkat ketua pengadilan negeri.
”Waktu kecil, saya jarang lihat motor. Waktu pertama kali lihat Vespa saya terkesan sekali dengan bentuknya yang rasanya aneh. Lekuk-lekuknya, bodinya yang bulat itu ada seninya,” kenang Tamrin, kelahiran Singkawang tahun 1948.
Pada tahun 1967 ketika dia sudah bekerja dan mampu membeli kendaraan, dibelilah Vespa keluaran tahun 1965 berwarna biru malam. ”Itu pertama kalinya saya naik motor.”
Tahun 1978 ia hijrah ke Jakarta dan skuter itu ia jual. Belakangan pada tahun 1998—ketika dia sudah jadi pencinta Vespa—diburulah kembali ”kekasih” lamanya itu. ”Saya cari lagi dan ketemu. Vespa itu sudah jatuh ke tangan ketiga.”
Hobi merawat Vespa menurut Tamrin, memerlukan usaha yang sabar, tekun, dan ulet. Skuter bulukan dengan mesin mati, lalu berubah menjadi Vespa mulus, jelas bukan upaya sulap.
Banyak orang yang kemudian melirik hasil ketekunan Tamrin. Mereka membeli, termasuk Mandra, pemain sinetron itu. Harganya memang bisa lebih mahal daripada harga motor keluaran terbaru. Namun, bagi Tamrin, ini bukan urusan angka nominal. ”Ini soal kepuasan batin, susah diungkapkan dan tak bisa diukur dengan uang. Namanya juga kesenangan,” katanya. (XAR)

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.